Baca Selanjutnya Di: http://entry44.blogspot.com/2010/04/cara-membuat-link-berkedip-saat-kursor.html#ixzz1NzR3zzVK simfony jiwa: Pencarian Jati Diri Menurut Mbahnya Tokoh Psikologi

Translate

lagi nge-hop

Thursday, February 3, 2011

Pencarian Jati Diri Menurut Mbahnya Tokoh Psikologi

Mungkin akan sangat menarik untuk menceritakan tentang adler sebagai pribadi. Adler adalah figur di mana saya mendapatkan kesempatan yang berharga untuk belajar, berhubungan dan berbincang-bincang dengan akrab. Adler adalah seseorang yang dalam bahasa Perancis dapat dikatakan "sympatique". Berbicara dengannya berarti mendapatkan kesempatan yang jarang sekali untuk melakukan hubungan antar manusia tanpa ada penghalang. Salah satu karakteristiknya yang utama ialah kemampuannya untuk tetap bersikap santai, bahkan dalam diskusi. Sulit sekali merasa tegang bersamanya. Kritik yang dilontarkan padanya bahwa beberapa idenya hanya berbicara pada tingkat permukaan, sampai pada batas tertentu memang benar. Tetapi bagaimanapun, benar bahwa sistem yang diajukannya secara keseluruhan akan dicatat dalam sejarah sebagai kontribusi sepanjang masa terhadap usaha untuk memahami dirinya.

Adler menggambarkan bahwa ego memiliki lebih banyak kekuatan sebagai agen yang mengarahkan daripada konsep ego Freudian.

Salah satu perbedaan utama antara sistem Adlerian dan Freudian ialah, bahwa Adler lebih menekankan pada tujuan masa kini individu daripada faktor penentu dalam latar belakang kehidupannya. Sistem Adler lebih bersifat teleologis daripada kausalogis. Sementara Freud lebih menangani faktor-faktor kausatif masa lalu individu, seperti pengalaman masa kecil, Adler memusatkan perhatiannya pada arah yang menjadi tujuan gerakan individu.

Buku tunggal Adler yang mungkin paling bermanfaat dan mudah dipahami ialah Understanding Human Nature.

Manusia kaitannya dengan perasaan bersalah
Jung menyatakan tanpa tendeng aling-aling dalam hal ini: "Tetapi lebih tepat dikatakan bahwa individuasi berarti pemenuhan secara lebih baik dan lebih lengkap disposisi umat manusia, karena pertimbangan yang memadai tentang keanehan individual bersifat lebih kondusif bagi pencapaian prestasi sosial yang lebih baik, daripada jika keanehan tersebut diabaikan atau ditekan." (Two Essays in Analytical Psychology, halaman:184)

Di satu sisi, Freud mengatakan bahwa perasaan bersalah merupakan ekspresi ketegangan antara ego dan super ego (New Introductory Lectures on Psychoanalysis, halaman:88), dan di sisi lain, bahwa ketegangan tersebut merupakan kecenderungan masokistik untuk menghukum diri. Namun Freud tidak menyadari sifat dasar perasaan bersalah yang normal yang kita bicarakan di sini, karena ia tidak memahami peran keterbatasan, otonomi, dan tanggung jawab dalam kepribadian. Naturalismenya membatasi pembahasannya sampai pada tingkat mengalami (experiential level); dan dengan demikian tidak ada satu pun perasaan bersalah yang murni sifatnya, misalnya perasaan bersalah yang menyebabkan ketegangan religius, dapat diterima. Seperti yang diungkapkan oleh Rank, "Dalam teori Psikoanalisis...perasaan bersalah ialah, dan akan selalu diartikan demikian, fakta akhir yang tak terselesaikan (Truth and Reality, halaman: 32).

Inilah yang berada dalam pikiran Thomas Mann ketika ia mengutip Degas dengan mengatakan, "Sebuah gambar harus dilukiskan dengan perasaan, sama seperti ketika seorang penjahat melakukan tindak kejahatan." Kemudian ketika ia mengacu kepada penolakan Deothe untuk membenarkan tentang proyek kreatifnya saat ia berada di tengah proses pembacaanya, Mann menambahkan, "Inilah rahasia yang berharga sekaligus salah," (Freud, Geothe and Wagner, halaman:85).

Truth and Reality, halaman:62. Kutipan itu berlanjut, "...dan bahkan jika tidak tersedia banyak bukti untuk mendukung kebebasan internal dari kehendak sadar, fakta kesadaran manusia terhadap adanya perasaan bersalah sendiri cukup memadai untuk membuktikan kebebasan berkehendak seperti yang kita pahami secara psikologis tidak diragukan lagi." Dalam ringkasannya, kehendak dan rasa bersalah merupakan dua sisi komplementer dari satu fenomena yang sama." (Ibid, halaman: 62).

Dalam sejarah, hal ini dibicarakan sebagai "dualisme" dan sifat-sifat dasar manusia. Untuk menunjukkan bahwa kita masih berpijak pada hal ini. "Orang menderita karena dualisme fundamental, bagaimanapun manusia dapat memformulasikannya, bukannya karena konflik yang tercipta oleh kekuatan lingkungan, yang dapat dihindari dengan cara "pendidikan yang benar" atau dengan menghapuskannya melalui pendidikan kembali (re-education) di kemudian hari (psikoanalisis)." (Will Therapy, halaman: 173). Jung membahasnya dengan menggunakan istilah diri Santa Paulus, "Adam Tua" dan "manusia baru". Setiap titik ekstrem hanya menyelamatkan sebagian kecil keadaan kesadaran. Alternatifnya ialah menggoncangkan kesadaran tersebut dengan ketegangan yang melekat pada permainan sifat-sifat atau keadaan yang berlawanan dari titik tersebut - pada punggung dualistik - dan dengan demikian akan membangunkan keadaan kesadaran yang lebih luas dan lebih tinggi." (Modern Man in Search of a Soul, halaman: 117). Menjadi "manusia baru" tidak berarti menyingkirkan "Adam Tua". Menyadari keterbelahan keadaan manusia merupakan langkah ketiga dan tertinggi dalam kesadaran.

Semoga bermanfaat yang bisa kamu petik!

No comments:

follow

Followers

My Blog List